Pentingnya Mengembalikan Tradisi Keilmuan Para Ulama Nusantara
Oleh : Dawamun Ni’am Alfatawi
MELIHAT fenomena keilmuan yang berkembang sekarang ini,
merupakan hal menarik untuk dicermati. Jika kita melihat secara jujur, rasanya perkembangan tradisi keilmuan seolah berjalan
stagnan.
Berbeda jauh jika dibandingkan dengan era ulama zaman dahulu.
Ini dapat dilihat dari minimnya karya yang bisa disebut sebagai karya masterpiece.
Dulu kita mengetahui ulama seperti Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, Syekh Mahfudz Termas,
Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Syeikh Sayyid Utsman Betawi, Syeikh Muhammad Mukhtar Al-Bughri.
Nama-nama di atas adalah ulama yang bukan hanya gigih dalam berdakwah,
tetapi memiliki tradisi keilmuan kuat. Karya-karya yang mereka hasilakan merupakan
bukti betapa mereka begitu gigih berjuang menyebarkan dakwah dan mengembangkan tradisi
keilmuan, tidak hanya pada lingkup sosial, tetapi juga menembus ruang akademik berupa
buku-buku.
Syekh Nawawi misalnya, beliau layak disebut sebagai tokoh utama
keberadan tradisi intelektual di pesantren, karena hasil karya beliau berupa kitab
kuning menjadi rujukan utama berbagai pesantren di Tanah Air, bahkan di luar negeri. Syekh Nawawi juga telah melahirkan karya
masterpiece Indonesia, yaitu tafsir Al Munir.
Tidak berbeda dengan Syekh Nawawi, begitupun Hadratus Syaikh
Hasyim Asy'ari yang juga merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang
menghasilakan 12 kitab. Syeikh Sayyid Utsman Betawi, Mufti Betawi menulis karya sebanyak 109 buah.
Syekh Mahfudz Termas dan Syeikh Muhammad Mukhtar Al-Bughri menghasilkan puluhan
buku.
Gambaran di atas menunjukkan, bahwa ulama zaman dahulu bukan
hanya pandai berorasi, pidato di hadapan umat, tetapi juga melahirkan karya yang
sampai sekarang menjadi rujukan.
Karya bagi seorang ulama dan cendikiawan bisa disebut bentuk
pertanggungjawaban atas keilmuan yang dimiliki. Karena karya atau buku bisa dibaca,
diulas dan dikaji, bahkan dikritik siapapun yang kemudian dapat diteruskan untuk
melahirkan karya lain.
Perbedaan pendapat di era ulama Nusantara ketika itu banyak dituangkan
dalam sebuah karya. Mereka beradu pendapat dengan karya disertai rujukan dan uraiaan
yang sistematis.
Bila dibandingkan sekarang rasanya jauh, sebab kita melihat kontroversi
dan perbedaan sekarang ini muncul di permukaan lewat ujaran.
Perbedaan pendapat
dan argument itu pun muncul tanpa diiringi dengan referensi dan landasan literatur mumpuni. Hal yang demikian, merupakan bentuk dari
degradasi keilmuan. Belum lagi jika mau dikatan secara jujur, bahwa minat menulis
bisa dibilang terus mengalami penurunan.
Ulama zaman dahulu melandaskan penguasaan keilmuannya dengan
sanad yang jelas, dengan siapa mereka belajar.
Sanad tersebut tidak putus dari guru-guru mereka berlanjut ke gurunya guru
mereka, begitu seterusnya.
Bukannya sekarang tidak ada ulama yang demikian, masih
ada meski jumlahnya semakin menurun, itu pun secara umum adalah ulama pesantren.
Tradisi ulama pesantrenlah yang masih mempertahankan sanad keilmuan secara
runtut, sedangklan ilmuan dan cendikiawan selain itu kebanyakan sebatas mempelajari
literatur yang sepenggal-sepenggal.
Penting rasanya untuk mewarisi dan mengembalikan tradisi ulama
Nusantara seperti yang dilakukan Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi dan lainnya.
Ini juga sebagai langkah meminimalisir perdebatan di ruang publik
yang tidak ada ujungnya. Karena kebanyakan
perdebatan tersebut lebih banyak mengarahkan pada perpecahan, bukan pengayaan terhadap
ilmu.
Dengan mengembalikan tradisi keilmuan ulama, diharapkan membawa
perubahan bangsa menjadi lebih baik, sebab ilmu adalah elemen utama yang
menentukan masa depan bangsa.
*Penulis adalah Alumni UIN Sunan Kalijaga dan kini aktif menjadi pemerhati
sosial dan politik
*Isi terkait tulisan
opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
0 Response to "Pentingnya Mengembalikan Tradisi Keilmuan Para Ulama Nusantara"
Posting Komentar