Pati Ulang Tahun ke-694, Ini Sejarah Kabupaten Pati yang Perlu Kamu Tahu
SEKITARPANTURA.COM, PATI - Kabupaten Pati, tepat pada 6 Agustus 2017 ini memasuki usianya yang ke-694. Hampir tujuh abad kabupaten ini berdiri, dan tentunya ini bukan usia yang muda. Bahkan, jika dibandingkan dengan kemerdekaan Indonesia masih terpaut sangat jauh.
Namun, apakah kalian sudah tahu bagaimana sejarah tentang Kabupaten Pati? Memang ada beragam versi mengenai nama Pati dan perjalanan kabupaten Pati. Meski begitu, dari beberapa versi tersebut, bermuara pada beberapa nama ataupun kejadian yang ada ketika itu.
Kali ini, Sekitarpantura.com akan mengulas kembali sejarah mengenai Kabupaten Pati, seperti yang dituliskan Hadi Priyanto dalam bukunya "Legenda, Mitos dan Sejarah 35 Kabupaten di Jawa Tengah".
Konon, di sebuah kadipaten di wilayah utara pulau Jawa, hiduplah seorang putri cantik jelita bernama Dewi Ruyung Wulan. Ia adalah anak Adipati Andungjoyo penguasa Kadipaten Carangsoko. Karena persahabatan setelah dewasa, ia dijodohkan dengan putra Adipati Yudhopati dari Kadipaten Paranggarudo, Raden Menak Jasari.
Menak Jasari ini merupakan pemuda yang buruk rupa dan memiliki sifat yang kurang baik dan bahkan dikenal sangat sombong serta selalu mengandalkan jabatan orang tuanya.Kedua kadipaten ini bertetangga dan sejak lama rakyatnnya hidup rukun karena persahabatan kedua adipati tersebut. Kadipaten Carangsoko wilayah kekuasaannya sebelah utara Sungai Juwana sampai pantai utara Jawa Tengah sebelah timur.
Sedangkan Kadipaten Paranggarudo, daerah kekuasaannya sebelah selatan Sungai Juwana sampai Pegunungan Gamping dan berbatasan dengan Grobogan.
Dewi Ruyung, sebenarnya sudah menolak pinangan tersebut. Namun orang tuanya memaksa untuk menjaga kerukunan dua kadipaten itu. Menurut Adipati Andungjoyo, kerukunan itu sangat penting agar rakyat di kedua kadipaten itu bisa hidup damai berdampingan.
Karena alasan itu, meski Adipati tahu jika Menak Jasari memiliki tabiat yang kurang baik serta buruk rupa, namun, dirinya tetap memaksan anaknya Dewi Ruyung Wulan untuk menerima pinangan Adipati Yudhopati.
Dalam hal ini, kemudian Dewi Ruyung mau menerima pinangan tersebut, namun dengan persyaratan, yaitu, ketika pesta perkawinan nanti, Dewi Ruyung meminta diadakan pagelaran wayang purwo atau wayang kulit dnegan dalang Ki Soponyono bersama pesinden kembar Nyai Ambarwati dan Nyai Ambarsari.
Ketiganya merupakan adik Raden Sukmayana, Adipati Mojosemi yang letaknya tidak jauh dari Kadipaten Carangsoko dan Paranggarudo. Permintaan itu segera saja disanggupi. Adipati Paranggarudo kemudian memerintahkan agul-agul Paranggarudo yaitu Yuyu Rumpung untuk mencari Ki Dalang Soponyono. Akhirnya, Ki Dalang Soponyono yang baru saja selesai bertapa di gunung bersama adiknya bertemua Yuyu Rumpung.
![]() |
Vermoedelijk de regentswoning te Pati ( Kabupaten pati 1867 ) |
Sebelum pagelaran wayang dimulai, Dewi Ruyung Wulan berpesan kepada Ki Dalang Soponyono agar mencari cerita pewayangan yang mirip dengan cerita kisah sedihnya. Biar semua orang tahu rintihan hati Dewi Ruyung Wulan.
Dalang Sapanyono kebingungan atas permintaan yang diajukan oleh Dewi Ruyung Wulan, namun hal ini hanyalah merupakan taktik dari Dewi untuk mengulur-ulur pernikahan. Dan agar pernikahan ini dapat diggagalkan sebab sebetulnya ia tidak mencintai Raden Menak Jasari calon suaminnya. Pernikahan yang tidak dilandasi cinta akan menyakitkan dan dapat melemahkan semangat untuk hidup berumah tangga.
Dalang Saponyono menjalankan tugas sebisanya. Karena merasa tertantang untuk membawakan cerita wayang yang tidak sewajarnya, sebab lakon wayang yang biasa dibawakan dalam acara pernikahan adalah wayang yang alur ceritanya berakhir dengan kebahagiaan, namun kali ini Dalang Soponyono harus membawakan wayang dengan cerita yang berakhir sedih.
Hal ini menurutnya, pasti mendapat protes sama penonton. Namun Bagaimanapun juga Dalang Soponyono harus mementaskan, sebab Dewi Ruyung Wulan tidak mau duduk di singgasana pengantin kalau permintaannya tidak dituruti.
Akhirnya Dalang Soponyono menuruti permintaan Dewi Ruyung Wulan, Ia ditemani oleh dua orang adiknya yang cantik-cantik bernama Ambarsari dan Ambarwati yang bertindak sebagai waranggano Swaraswati.
Tangisan haru dan jeritan serta duka mendalam yang disampaikan Dewi Ruyung Wulan, benar-benar mewarnai pentas wayang malam itu. Ki Dalang Soponyono benar-benar hanyut dalam duka Dewi Ruyung hingga membuat pengunjung hatinya bergetar sedih.
Sementara itu, Raden Menak Jasari justru hatinya berbunga-bunga, karena dapat bersanding dengan Dewi Ruyung Wulan di pelaminan. Air liur Raden Menak Jasari selalu menentes bila melihat kecantikan Dewi Ruyung.
Tangannya mulai nakal mencolak-colek pipi Dewi Ruyung Wulan. Sehingga membuatnya tidak nyaman. Tengah asyik-asyiknya pagelaran berlangsung, terjadilah keributan yang ditimbulkan Dewi Rayung Wulan. Ia lari dari pelaminan dan menjatuhkan diri di atas pangkauan Dalang Soponyono.
Dewi Ruyung Wulan telah hanyut dalam cerita Pewayangan, ia terpesona dan jatuh cinta kepada Dalang Soponyono yang wajahnya lebih tampan dan pandai memainkan cerita wayang daripada Raden Menak Jasari yang selalu mengumbar nafsu birahinya.Dewi Ruyung Wulan kemudian berkata kepada Dalang Soponyono untuk membawa dirinya lari dari tempat tersebut.
Melihat hal ini, tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama orang tua kedua mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang berada di Kadipaten Carangsoko.
Keadaan yang gelap gulita itu, membuat panik yang hadir dalam perjamuan tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan Ki Soponyono melarikan diri diikuti oleh kedua adiknya dan Dewi Ruyung Wulan.
Adipati Paranggarudo malu dengan hal ini dan kemudian patihnya Singopadti untuk segera mepersiapkan prajurit, mengejar Dalang Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.
Prajurit menyebar ke seluruh desa, memasuki rumah-rumah dengan tidak sopan santun dan kasar. Rakyat Carangsoko menjadi ketakutan, mereka berlari berhamburan menyelamatkan diri. Prajurit menggeledah semua rumah penduduk barangkali mereka bersembunyi di dalam rumah penduduk dan barang siapa berani melindungnya akan dihukum.
Hal ini membuat Adipati Puspo Handung Joyo kurang senang, yang dicari burunan Dalang Soponyono tetapi rumah rakyat yang dirusak. Adipati Paranggarudo tidak mau peduli, yang penting adalah Soponyono harus ketangkap mati atau hidup. Karena telah menghina kewibawaan Adipati Paranggarudo.
Ki Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan yang disertai adik-adiknya berlari terus menuju hutan, mereka berjalan mengikuti alur sungai. Ki Soponyono juga mengadakan perlawanan kepada para pengejar walaupun sia-sia, karena tidak seimbang jumlah pengejar dan yang dikejar. Keluar hutan masuk hutan, Dewi Ruyung Wulan menanggalkan pakaian kebesaran, kemudian dia menukarkan dengan baju penduduk setempat, mereka menyamar menjadi penduduk desa, agar tidak menjadi perhatian penduduk.
Sampailah mereka di Dukuh Bantengan (Trangkil) wilayah Panewon Majasemi. Panasnya Terik Matahari di siang hari membuat keempat orang tersebut kehausan. Musim kemarau yang panjang membuat mata air kering sehingga amat berharganya air.
Mereka terus berjalan untuk mendapatkan seteguk air. Mereka duduk di bawah pohon besar yang kering, setelah berlari tanpa berhenti merupakan siksaan terlebih bagi ketiga orang putri terutama Dewi Ruyung Wulan yang tidak pernah bekerja berat dan berjalan jauh. Rasa haus bagi ketiga putri tersebut sudah tak terhankan lagi, untuk meneruskan perjalanannya sudah tidak mungkinkan lagi.
Karena hausnya mereka berlari mengejar daratan yang penuh dengan sumber air setelah didekati ternyata hanya sebuah fatamorgana. Mereka berjalan tertatih-tatih, sampailah mereka disebuah sawah yang sunyi tidak ada sumurnya, dan sungai disekitarnya sudah kering karena kemarau panjang itu. Melihat hal itu Ki Soponyono sangat bingung hatinya karena akan meminta air pada penduduk tidak berani, takut bertemu pengejarnya. Maka jalan satu-satunya adalah mencuri semangka atau mentimun yang ada di sawah tersebut.
Mereka tidak menyadari bahwa semua bergerak-geraknya diawasi dari jauh oleh pemilik sawah yaitu adik dari Panewu Sukmoyono yang bernama Raden Kembangjoyo. Berdasarkan laporan penduduk bahwa sawahnya sering dirusak oleh binatang-binatang seperti kerbau, kancil. Namun kali ini Kembangjoyo kaget ternyata yang selama ini yang merusak tanamannya bukan binatang tapi manusia. Kembangjoyo memerintahkan anak buahnya untuk mengepung sawah tersebut.
Kemudian, terjadilah perang antara Ki Soponyono dengan anak buahnya Kembang Joyo, mereka semua dapat dilumpuhkan oleh Soponyono. Akhirnya Kembang Joyo turun tangan mereka berdua bertarung di tengah sawah.
Kantor Kabupaten Pati sekarang 2016 (sekitarpantura.com) |
Dari kejauhan tiga putri itu bersembunyi menyaksikan pertarungan tersebut, karena dianggap pasukan Paranggarudo. Namun tanpa daya Ki Soponyono melawan Kembangjoyo, karena Kembang Joyo lebih sakti dari Ki Soponyono.Ki Soponyono ditelikung kakinya, kemudian tangannya diikat dengan tali dadung.
Setelah itu keluarlah Dewi Ruyung Wulan beserta kedua adik Dalang Soponyono, dan meminta untuk melepaskan Dalang Soponyono. Dewi Ruyung Wulang mengatakan jika dirinya boleh ditangkap dan dibawa, asal Soponyono dilepaskan. Sebab, Dewi Ruyung mengira jika yang menangkap Soponyono itu adalah pasukan dari Paranggarudo.
Melihat hal ini, Kembang Joyo menjadi heran, ternyata maling yang ditangkapnya membawa tiga orang gadis yang cantik-cantik. Namun karena Kembang Joyo hanya ditugaskan untuk menjaga sawah milik kakaknya, makanya ia tetap merangket keempat orang tersebut.
Mereka berempat kemudian menjadi tawanan Kembang Joyo, kemudian mereka dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk diminta penjelasannnya. Ki Soponyono memerkenalkan satu persatu kawan-kawannya. Selanjutnya ia menceritakan semua kejadian-kejadian yang telah dialami, mengapa mereka sampai di dikejar-kejar pasukan Parang Garudo dan sampai mereka terpaksa mencuri semangka dan mentimun milik Raden KembangJoyo. Mendengar penuturan Ki Soponyono tersebut, Penewu Sukmayono merasa kasihan dan tidak sampai hati untuk menjatuhi hukuman. Penewu Sukmayono bersedia menampung dan melindungi mereka.
Sebagai rasa terima kasih atas segala kebaikan Sukmoyono, Ki Saponyono mempersembahkan kedua adiknya kepada Sang Penewu untuk dijadikan hambanya. Persembahan tersebut diterima dengan senang hati. Akhirnya Ambarsari diperistri oleh Penewu sebagai selir, sedangkan Ambarwati diberikan kepada Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya. Sedangkan Dewi Ruyung Wulan akan dikembalikan kepada bapaknya Adipati CarangSoko, Puspo Handung Joyo.
Sementara itu, para prajurit Paranggarudo masih saja melakukan pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Sampailah mereka tiba di Majasemi. Betapa marahnya Adipati Yudhopati ketika mendapat laporan bahwa buronan Dalang Soponyono, Dewi Ruyung Wulan bersama kedua adik Soponyono berada di Majasemi. Mereka dilindungi oleh Panewu Sukmoyono.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Banyak korban berjatuhan, termasuk Ki Panewu Sukmoyono. Ia gugur dalam pertempuran itu. Mendengar kakaknya gugur, Raden Kembangjoyo mengamuk dengan memegang keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro. Ia menghancurkan pasukan Paranggarudo.
Melihat pasukannya dikalahkan, Adipati Yudhopati turun ke gelanggang. Terjadi pertempuran dahsyat antara Raden Kembangjoyo dan Adipati Yudhopati. Setelah bertempur cukup lama, akhirnya Adipati Yudhapati berhasil dikalahkan.
Setelah peperangan usai, Raden Kembangjoyo bersama Ki Dalang Soponyono mengantarkan Dewi Ruyung Wulan pulang ke Kadipaten Carangsoko. Sebagai ucapan terima kasih, Adipati Andungjoyo menyerahkan Dewi Ruyung Wulan kepada Raden Kembangjoyo untuk dijadikan istrinya.
Ia kemudian menetap di Carangsoko dan kemudian menggantikan Puspo Andungjoyo sebagai pemimpin Kadipaten. Ia juga diangkat menjadi Adipati setelah menggabungkan tiga kadipaten yaitu Paranggarudo, Carangsoko dan Majasemi menjadi satu.
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga kadipaten, yang bertekad untuk memperluas daerah kekuasaannya. Karena itu, mereka mencari lokasi yang baik sebagai pusat pemerintahan. Mereka akhirnya menuju hutan Kemiri dan setelah cocok, segeralah hutan tersebut dibabat untuk pusat pemerintahan.
Namun, sebelum melakukan penebangan hutan, mereka diganggu siluman penunggu hutan tersebut. Untuk menangkal gangguan makhluk halus tersebut, kemudian Ki Soponyono selamatan dengan memainkan wayang di hutan Kemiri. Setelah pagelaran wayang usai, raja siluman beserta anak buahnya lari dari hutan Kemiri.
Esok harinya Kembang Joyo dan Dalang Soponyono beserta parajurit Carangsoko melanjutkan pekerjaannya membuka Hutan Kemiri menjadi perkampungan, di tengah mereka sedang membuka hutan datanglah seorang laki-laki memikul gentong yang berisi air.
Setelah didekati, ternyata Ki Sagola seorang penjual dawet keliling. Karena haus, mereka membeli dawet tersebut. Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan minuman Dawet yang manis dan segar, maka ia bertanya pada Ki Sagola tentang minuman yang baru diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa minuman ini terbuat dari Pati Aren yang diberi Santan kelapa, gula aren/kelapa.
Mendengar jawaban itu Raden Kembang Joyo terispirasi, kelak kalau pembukaan hutan ini selesai akan diberi nama Kadipaten Pesantenan. Setelah pembukaan hutan selesai, maka dilakukanlah boyongan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Carangsoko ke Desa Kemiri dengan memberi nama Kadipaten Pesantenaan. Ia kemudian menggunakan gelar Adipati Joyokusumo di Pesantenan. Dalam perkembangannya Kadipaten Pati-Pesantenan menjadi makmur gemah ripah loh jinawi dibawah kepemimpinan Kembang Joyo.
Setelah Adipati Joyokusumo wafat, maka digantikan putra tunggalnya yaitu Raden Tambra yang telah dipersiapkan lama untuk menggantikannya. Raden Tambra juga mewarisi dua pusaka yaitu Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro.
Setelah diangkat menjadi Adipati Pesantenan, ia mendapatkan gelar Adipati Tambranegara. Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara dikenal oleh rakyat Pesantenan sebagai seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Ia sangat memperhatikan nasib rakyat kecil serta berusaha untuk mensejahterakannya. Karena itu kehidupan rakyat di Pesantenan dapat berjalan dengan penuh kerukunan, kedamaian , ketenangan serta sejahtera.
Kadipaten Pesantenan menjadi semajin besar dan orang yang bermukin di sana terusa bertambah. Karena itu, Raden Tambranegara kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kemiri ke Kaborongan. Ia juga kemudian mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kabupaten Pati.
Konon pemindahan pusat pemerintahan dari Kemiri ke Kaborongan dan penggantian nama dari Kadipaten Pesantenan menjadi Kabupaten Pati dilakukan sebelum Raden Tambranegara menghadiri Pisowanan Agung di Keraton Majapahit di Majalengka tanggal 13 Desember 1323. Karena itu, diperkirakan perstiwa itu terjadi pada tanggal 7 Agustus 1323 dengan surya sengkala Kridane Panembahan Gebyaring Bumi.
Dalam Pisowanan Agung itu, Raja Majapahit Raden Jayanegara mengakui wilayah Kadipaten di pantai utara Jawa Tengah bagian timur itu termasuk wilayah kekuasaan Raden Tambranegara sebagai tanah perdikan. Namun, setiap tahun ia harus memberikan upeti kepada Majapahit.
Demikian sekilas tentang sejarah terbentuknya Kabupaten Pati. Semoga dapat menambah referensi pengetahuan Anda. Selamat Hari Jadi Kabupaten Pati.
0 Response to "Pati Ulang Tahun ke-694, Ini Sejarah Kabupaten Pati yang Perlu Kamu Tahu"
Posting Komentar