Krisis Harga Diri Dalam Masyarakat
Oleh : Dawamun Ni'am Alfatawi
Berbagai peristiwa beberapa bulan terakhir telah membuat
kesadaran kita terbelalak, pasalnya di Negara yang dikenal kesantunan dan gotong
royongnya ini, begitu mudah tersulut emosinya. Fitnah-fitnah
bertebaran di manapun. Kebodohan-kebodohan ditunjukkan tanpa
kenal malu. Fenomena kagetan terlihat di dunia maya. Kebebasan berpendapat di dunia maya tidak dibarengi dengan etika. Kebanyakan orang memahami dunia
maya adalah dimensi tanpa moral, sehingga merasa bebas untuk mengungkapkan apa saja.
Melihat kemarahan dengan berbagai wajah begitu sering dipertontonkan,
lautan emosi telah menggulung kemanusiaan dan melumat toleransi. Bangunan keragaman yang telah mengakar lama di bangsa ini tentu sangat sayang
sekai dihancurkan begitu saja dengan berbagai isu.
Fondasi multikulturalisme, sedianya
harus diperkuat, apalagi setelah melihat fenomena yang
terjadi akhir-akhir ini. Lihat bagaimana kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyedot perhatian begitu banyak orang untuk datang ke Jakarta. Tentu fenomena tersebut bukanlah sebuah hal yang bisa
dianggap angin lalu. Kita harus melihat ini sebagai rambu-rambu terhadap
koyaknya tatanan masyarakat. Kita tentu tidak mau kalau sampai terjadi lagi
kejahatan kemanusiaan di bumi Nusantara.
Aksi saling lapor dan menyelesaikan masalah di depan
hukum dalam satu sisi dapat dimaknai sebagai sebuah hal positif kesadaran masyarakan terhadap hukum. Trend positif itu dalam
kenyataannya telah membuat masyarakat menjadi over dalam memandang
lembaga dan penegak hukum. Pasalnya, hukum telah dipakai untuk mencari pembenaran dan dibawa dalam ranah kepentingan serta politik
praktis. Ini adalah ironi dalam masyarakat kita sekarang ini.
Kalau kita baca melalui teori psikologi Abraham Maslow,
masyarakat kita tengah berada pada tahap untuk memenuhi kebutuhan akan harga
diri. Dalam piramida kebutuhan, harga diri menempati jenjang keempat.
Masing-masing
orang dan kelompok menujukkan eksistensinya untuk dihargai keberadaannya.
Masyarakat mayoritas merasa ingin didengar apa pendapatnya dan minoritas tengah
berjuang akan keberadaan dirinya mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Boleh jadi ini merupakan garis batas menuju pencerahan mencapai yang namanya
aktualisasi diri jika bisa memenuhi dan melewati tahap ini dengan baik. Jika tidak, bisa saja yang kita tuai adalah kehancuran
dan krisis sosial.
Untuk menghadapi krisis etis yang terjadi akhir-akhir ini, perlu kerja sama berbagai pihak. Selain itu juga, harus ada rasa legowo saling
memaafkan. Dengan begitu, perseteruan dapat diselesaikan dan
dicarikan solusi atau jalan
alternatifnya. Kita juga harus menyadari, bahwa kebenaran bukanlah milik individu
ataupun sekelompok orang saja. Berbeda bukan berarti salah namun harus dimaknai
sembagai rahmah dan keindahan yang menunjukkan bebagai warna.
Perbedaan adalah ibarat pelangi yang sangat indah. Coba
bayangkan, jika hanya ada dua warna hitam putih, tentu tidak seindah itu. Ini membuka kenyataan bahwa pikiran terbuka belum
cukup membangaun masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Pikiran terbuka harus
bersanding dengan hati terbuka sehingga mampu menyalurkan kasih sayang kepada
sesama. (*)
0 Response to "Krisis Harga Diri Dalam Masyarakat"
Posting Komentar