Satu-satunya Ahli Taknosomi Bambu di Indonesia Ini Ternyata Berasal dari Kudus
SEKITARPANTURA.COM, KUDUS - Bambu bagi kita dan masyarakat Indonesia bukan merupakan hal yang asing lagi. Sebab, tanaman ini cukup mudah dijumpai dan didapatkan.
Tak jarang, masyarakat juga sering menggunakan bambu untuk berbagai keperluan. Hal seperti ini sudah terjadi sejak zaman dahulu. Mulai dari perlengkapan rumah, perabotan, alat musik hingga kerajinan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Bambu sendiri, memiliki jenis yang cukup beragam. Mulai bambu apus, bambu petung, bambu kuning, bambu tutul, bambu duri, bambu ori, bambu cendani, bambu embong, bambu haur hejo dan masih banyak lagi lainnya.
Untuk di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 159 spesies dari total 1.250 jenis bambu yang terdapat di dunia. Bahkan sekitar 88 jenis bambu yang ada di Indonesia merupakan tanaman endemik.
Namun demikian, ternyata di Indonesia masih sangat minim ahli di bidang tanaman bambu ini. Bahkan, hanya ada satu di Indonesia.
Jika kita lihat nama latin dari awi hideung atau bambu hitam yaitu Gigantochloa atroviolacea Widjaja atau awi gombong yang memiliki ciri setrip hijau dan kuning cerah yang memiliki nama latin Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steud) Widjaja.
Nama latin dari kedua jenis bambu tersebut ada imbuhan widjaja di akhir. Usut punya usut, nama tersebut merupakan nama belakang dari Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja.
Tak jarang, masyarakat juga sering menggunakan bambu untuk berbagai keperluan. Hal seperti ini sudah terjadi sejak zaman dahulu. Mulai dari perlengkapan rumah, perabotan, alat musik hingga kerajinan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Bambu sendiri, memiliki jenis yang cukup beragam. Mulai bambu apus, bambu petung, bambu kuning, bambu tutul, bambu duri, bambu ori, bambu cendani, bambu embong, bambu haur hejo dan masih banyak lagi lainnya.
Untuk di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 159 spesies dari total 1.250 jenis bambu yang terdapat di dunia. Bahkan sekitar 88 jenis bambu yang ada di Indonesia merupakan tanaman endemik.
Namun demikian, ternyata di Indonesia masih sangat minim ahli di bidang tanaman bambu ini. Bahkan, hanya ada satu di Indonesia.
Jika kita lihat nama latin dari awi hideung atau bambu hitam yaitu Gigantochloa atroviolacea Widjaja atau awi gombong yang memiliki ciri setrip hijau dan kuning cerah yang memiliki nama latin Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steud) Widjaja.
Nama latin dari kedua jenis bambu tersebut ada imbuhan widjaja di akhir. Usut punya usut, nama tersebut merupakan nama belakang dari Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja.
Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja (foto :www.goodnewsfromindonesia.org) |
Tahukah Anda, ternyata perempuan hebat ini merupakan kelahiran Kudus.Dia adalah satu-satunya ahli taksonomi bambu di Indonesia. Julukan doktor atau bunda bambu Indonesia pun disematkan kepada beliau.
Bukan tanpa alasan, sudah lebih dari separuh hidupnya dia abdikan untuk meneliti tanaman multiguna tersebut. Kecintaan Elizabeth pada dunia bambu berawal saat dia tengah meneliti tentang alat musik bambu di Sanggar Saung Angklung di Jalan Padasuka, Bandung sebagai bahan skripsinya. Di sana Elizabeth tinggal tiga bulan guna menyaksikan sendiri proses pembuatan angklung mulai dari mencari, memotong, hingga menjadi angklung.
Dari situ Elizabeth jadi tahu bahwa angklung dibikin dari bambu hitam yang dalam bahasa sunda disebut awi hideung. Menurut pemilik Sanggar Saung Angklung, bambu hitam merupakan jenis bambu yang paling baik untuk membuat angklung. Namun, kemudian Elizabeth menyadari, ada masalah dalam penamaan jenis bambu. Setelah menelisik lebih jauh, nama Latin bambu hitam ternyata sama dengan tiga jenis bambu lainnya, yakni Gigantochloa verticillata (Wild) Munro, baik untuk awi ater, awi gombong, dan awi mayan.
Padahal, ketiganya memiliki ciri-ciri yang berbeda. Berawal dari masalah tersebut, ibu dua anak tersebut pun tergerak untuk mengklasifikasi nama-nama bambu tersebut. Sejak saat itu Elizabeth semakin serius mendalami ilmu taksonomi, khususnya bambu. Elizabeth kemudian bekerja di Puslit Biologi LIPI.
Kegemaran meneliti bambu pun semakin tersalurkan. Hingga pada 1980 dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan jenjang S-2 di Departemen Biologi University of Birmingham, Inggris, dengan sponsor dari British Council.
Melanjutkan jenjang S-3 nya di Universitas yang sama, Elizabeth membahas secara khusus bambu jenis gigantochloa. Saat mengerjakan disertasi, Elizabeth banyak menemui tantangan. Proposal penelitiannya tentang bambu jenis gigantochloa sempat diragukan oleh pakar bambu ternama di Amerika Thomas Soderstrom. Alasannya, di Indonesia belum pernah ada ahli bambu. Apalagi, jenis bambu yang diteliti Elizabeth tergolong paling sulit.
Elizabeth membuktikan tekadnya. Tepat tiga tahun disertasinya selesai. Dia lalu diuji oleh ahli biosistematik dari Inggris Prof Clive A. Stace. Ternyata Elizabeth mampu melewati ujian itu dengan hasil baik. Pada tahun 1990-1995, Elizabeth menerima dana penelitian dari International Development Research Center Kanada. Dana tersebut dia gunakan untuk meneliti plasma nuftah bambu di Indonesia.
Elizabeth pun menjadi makin sering keluar masuk hutan dan pegunungan untuk menemukan jenis bambu yang baru. Hasilnya, Elizabeth mampu memuplikasikan 43 jenis bambu yang ditemukan. Tercatat sudah ada 160 jenis bambu yang dikenali dan dikelompokkan Elizabeth. Di antara jumlah itu, 80 jenis merupakan hasil temuannya.
Berkat sumbangsihnya sebagai peneliti bambu Indonesia, Elizabeth pernah diganjar beberapa penghargaan. Tercatat dua kali perempuan kelahiran 30 Maret itu meraih penghargaan sebagai The Best Scientist in LIPI dan dua kali mendapat penghargaan Satyalancana Karya dari pemerintah.
Selain itu, dia pernah memperoleh penghargaan Bintang Jasa Utama dari Presiden Abdurrahman Wahid dan Harsberger Medal dari Society of Ethnobotanists, India. Menurut Elizabeth, masih banyak jenis bambu di Indonesia yang belum ditemukan dan diketahui jenisnya.
Padahal, dikhawatirkan 1520 tahun mendatang masyarakat Indonesia belum tentu bisa melihat bambu lagi. Sebab, penebangan bambu secara besar-besaran terus terjadi tanpa disertai upaya budi daya. Padahal, kegunaan bambu sangat banyak yang tidak diketahui masyarakat. Salah satu di antaranya adalah untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Bukan tanpa alasan, sudah lebih dari separuh hidupnya dia abdikan untuk meneliti tanaman multiguna tersebut. Kecintaan Elizabeth pada dunia bambu berawal saat dia tengah meneliti tentang alat musik bambu di Sanggar Saung Angklung di Jalan Padasuka, Bandung sebagai bahan skripsinya. Di sana Elizabeth tinggal tiga bulan guna menyaksikan sendiri proses pembuatan angklung mulai dari mencari, memotong, hingga menjadi angklung.
Dari situ Elizabeth jadi tahu bahwa angklung dibikin dari bambu hitam yang dalam bahasa sunda disebut awi hideung. Menurut pemilik Sanggar Saung Angklung, bambu hitam merupakan jenis bambu yang paling baik untuk membuat angklung. Namun, kemudian Elizabeth menyadari, ada masalah dalam penamaan jenis bambu. Setelah menelisik lebih jauh, nama Latin bambu hitam ternyata sama dengan tiga jenis bambu lainnya, yakni Gigantochloa verticillata (Wild) Munro, baik untuk awi ater, awi gombong, dan awi mayan.
Padahal, ketiganya memiliki ciri-ciri yang berbeda. Berawal dari masalah tersebut, ibu dua anak tersebut pun tergerak untuk mengklasifikasi nama-nama bambu tersebut. Sejak saat itu Elizabeth semakin serius mendalami ilmu taksonomi, khususnya bambu. Elizabeth kemudian bekerja di Puslit Biologi LIPI.
Kegemaran meneliti bambu pun semakin tersalurkan. Hingga pada 1980 dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan jenjang S-2 di Departemen Biologi University of Birmingham, Inggris, dengan sponsor dari British Council.
Melanjutkan jenjang S-3 nya di Universitas yang sama, Elizabeth membahas secara khusus bambu jenis gigantochloa. Saat mengerjakan disertasi, Elizabeth banyak menemui tantangan. Proposal penelitiannya tentang bambu jenis gigantochloa sempat diragukan oleh pakar bambu ternama di Amerika Thomas Soderstrom. Alasannya, di Indonesia belum pernah ada ahli bambu. Apalagi, jenis bambu yang diteliti Elizabeth tergolong paling sulit.
Elizabeth membuktikan tekadnya. Tepat tiga tahun disertasinya selesai. Dia lalu diuji oleh ahli biosistematik dari Inggris Prof Clive A. Stace. Ternyata Elizabeth mampu melewati ujian itu dengan hasil baik. Pada tahun 1990-1995, Elizabeth menerima dana penelitian dari International Development Research Center Kanada. Dana tersebut dia gunakan untuk meneliti plasma nuftah bambu di Indonesia.
Elizabeth pun menjadi makin sering keluar masuk hutan dan pegunungan untuk menemukan jenis bambu yang baru. Hasilnya, Elizabeth mampu memuplikasikan 43 jenis bambu yang ditemukan. Tercatat sudah ada 160 jenis bambu yang dikenali dan dikelompokkan Elizabeth. Di antara jumlah itu, 80 jenis merupakan hasil temuannya.
Berkat sumbangsihnya sebagai peneliti bambu Indonesia, Elizabeth pernah diganjar beberapa penghargaan. Tercatat dua kali perempuan kelahiran 30 Maret itu meraih penghargaan sebagai The Best Scientist in LIPI dan dua kali mendapat penghargaan Satyalancana Karya dari pemerintah.
Selain itu, dia pernah memperoleh penghargaan Bintang Jasa Utama dari Presiden Abdurrahman Wahid dan Harsberger Medal dari Society of Ethnobotanists, India. Menurut Elizabeth, masih banyak jenis bambu di Indonesia yang belum ditemukan dan diketahui jenisnya.
Padahal, dikhawatirkan 1520 tahun mendatang masyarakat Indonesia belum tentu bisa melihat bambu lagi. Sebab, penebangan bambu secara besar-besaran terus terjadi tanpa disertai upaya budi daya. Padahal, kegunaan bambu sangat banyak yang tidak diketahui masyarakat. Salah satu di antaranya adalah untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
sumber : jpnn
0 Response to "Satu-satunya Ahli Taknosomi Bambu di Indonesia Ini Ternyata Berasal dari Kudus "
Posting Komentar