Tradisi Berebut Panganan di Perayaan Meron

Terlihat masyarakat berebut makanan, usai upacara adat perayaan meron. (SekitarPantura.Com)
SekitarPantura.Com - Perayaan meron, yang berada di Desa Sukolilo  setiap tahun terus berkembang semakin meriah. Antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam perayaan tersebut cukup tinggi. Bahkan masyarakat dari luar daerah juga tak ketinggalan untuk ikut  menyaksikan puncak kegiatan tersebut.

Meron memang salah satu tradisi yang memiliki makna  luas, baik dari segi agama maupun sosial. Namun, ada yang hal yang cukup unik dari adanya tradisi meron yang dilaksanakan pada setiap bulan Maulud (Robiul Awal).

Pada saat puncak perayaan meron, biasanya sejak pagi masyarakat sudah memadati jalan untuk menyaksikan pawai  atau kirab yang diikuti oleh ormas, perangkat desa, warga, pelajar maupun paguyuban.

Pada upacara adat, yang merupakan puncak dari kegiatan meron, yang dilaksanakan di halaman masjid desa setempat, biasanya masyarakat langsung beramai-ramai berebut panganan, baik yang disuguhkan diatas meja maupun yang terpajang di gunungan yang diarak warga. Hal ini, lazim terlihat ketika usai upacara adat.

Sebagian masyarakat percaya, dengan mendapatkan makanan dari perayaan tersebut, katanya bisa membawa berkah. ”Berdasarkan keyakinan yang masyarakat miliki, panganan dari kegiatan meron ini bisa membawa berkah jika dimakan,” ujar Suwarni, salah satu warga.

Dengan kepercayaan yang dimiliki masyarakat tersebut, maka pada acara kirab, masyarakat berupaya mendapatkan panganan, khususnya yang terdapat di gunungan. Seperti halnya dilakukan oleh Yudi, salah satu siswa yang masih duduk di bangku SMP. ”Pak, minta dua pak, eh empat kalau boleh,” pintanya kepada salah satu warga yang memikul gunungan, yang dihiasi dengan panganan berupa rengginang , yang dirangkai secara memanjang.

H. Ali Yuhdi, penutur sejarah dari Sukolilo mengatakan, gunungan yang terbagi menjadi tiga bagian itu sendiri  sangat khas. Bagian teratas merupakan mustaka yang berbentuk lingkaran bunga aneka warna replika ayam jago atau masjid. ”Ayam jago merupakan simbol keprajuritan, dan masjid merupakan semangat keislaman dan bunga merupakan simbol persaudaraan,” ujarnya.

Kemudian, rangkaian kedua yakni rangkaian ampyang atau rengginang warna-warni , yang katanya melambangkan tameng atau perisai prajurit. Dan juga ada cucur yang melambangkan tekad manunggal atau persatuan.

Selanjutnya untuk bagian ketiga yakni ancak, yang juga ada tiga bagian. Untuk ancak bagian atas katanya melambangkan keimanan, kemudian yang tengah keislaman dan yang bawah symbol kebaikan atau dalam bahasa arab ihsan.

Tradisi inilah di masyarakat Sukolilo terkenal dengan nama meron. Tradisi yang sudah ada sejak awal abad 17, ketika zaman Pemerintahan Kasultanan Mataram, yang pada saat itu Desa Sukolilo dibawah kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan, yang dipimpin Bupati Wasis Joyo Kusumo.

”Pada saat itu, Sukolilo ini memiliki seorang Demang  yang bernama Suro Kerto. Dia memiliki empat saudara laki-laki yakni , Suro Kadam, Suro Yudo, Suro Dimejo dan Suro Noto. Karena semuanya laki-laki maka disebut Pandawa lima, dan mereka ini keturunan Kerajaan Mataram,” katanya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tradisi Berebut Panganan di Perayaan Meron"

Posting Komentar