Nenek Penjual Brayo yang Bertahan Hidup di Bantaran Sungai Tayu

Wagirah, nenek penjual brayo di bantaran Sungai Tayu. (SekitarPantura.Com)
SekitarPantura.Com - Sore itu, udara di sekitar Sungai Tayu berhembus cukup kencang. Seorang nenek dengan pakaian lusuh terlihat sedang berada di bawah pohon Brayo (pohon sejenis mangrove). Dengan telaten, dia memungut buah Brayo yang tidak terlalu banyak.

Adalah Wagirah (53) nenek yang hidup sebatang kara ini, harus berjuang sendiri untuk keberlangsungan hidupnya, salah satunya dengan menjual Brayo. Tak cukup banyak dari hasil menjual Brayo tersebut, namun, baginya hal itu tetap disyukuri.

”Kadang laku lima bungkus, kadang enam, tidak tentu lah. Sebungkusnya saya jual Rp 1.000,” ujar Wagirah.

Selain menjual Brayo, Wagirah juga membantu menunggui kambing milik tetangganya, yang kandangnya berada di dekat rumahnya. Setiap pagi, kambing tersebut dilepas untuk merumput. Kemudian, setelah sore, kambing itu dikandangkan kembali.

Dari jasanya ini, dirinya menerima upah dari pemilik kambing. ”Kadang dikasih Rp 20 ribu, untuk kebutuhan selama tiga hari,” katanya.

Nenek Wagirah juga harus hidup di rumah yang jauh dari layak. Belum lagi, tempat tinggalnya tersebut juga cukup jauh dari pemukiman warga. Dirinya tinggal di bantaran kawasan tambak. Tanah yang ditempati untuk rumah, katanya juga bukan hak miliknya. Dahulu, almarhum suaminya, hanya meminta izin kepada perangkat desa untuk bisa di tempat tersebut.

Sebenarnya, Nenek Wagirah dulu memiliki tanah warisan dari neneknya, tetapi kemudian dijual seluruhnya oleh sang Ibu. Akhirnya, ia dan mendiang suami terpaksa harus mencari lokasi tak berbayar, karena kondisi mereka yang memang miskin. Didapatilah dataran penuh semak belukar di tepi Sungai Tayu, yakni di antara bantaran sungai dan tambak. ”Lalu kami bersihkan dan dirikan rumah sederhana di atas lahan itu,” ungkapnya. (SekitarPantura.Com)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nenek Penjual Brayo yang Bertahan Hidup di Bantaran Sungai Tayu"

Posting Komentar