Meron, Gambaran Tradisi Abad 17
Gunungan yang diarak warga dalam tradisi meron di Desa Sukolilo, Kecamatan
Sukolilo, Kabupaten Pati (SekitarPantura.Com)
|
Belasan gunungan terlihat diarak beramai-ramai menuju halaman masjid Desa Sukolilo
pada perayaan Meron,Minggu (4/1/2015). Gunungan tersebut
tersebut terbuat dari panganan berbahan ketan yang dirangkai
kecil-kecil memanjang, dan ketan itu dikemas menjadi panganan
bernama rengginang atau ampyang.
Gunungan itu juga sangat khas, yang dibuat menjadi
tiga bagian. Bagian teratas merupakan mustaka dengan bentuk lingkaran bunga aneka
warna disertai replika ayam jago atau masjid. ”Ayam jago merupakan simbol
keprajuritan, dan masjid merupakan semangat keislaman dan bunga merupakan simbol
persaudaraan,” ujar H. Ali Yuhdi, Penutur Sejarah dari Sukolilo.
Kemudian, rangkaian kedua yakni rangkaian ampyang atau rengginang
warna-warni,yang katanya, melambangkan tameng atau perisai
prajurit. Dan juga ada cucur yang melambangkan tekad manunggal atau persatuan.
Selanjutnya untuk bagian ketiga yakni ancak, yang juga ada tiga bagian.
Untuk ancak bagian atas, katanya melambangkan keimanan, kemudian yang tengah
keislaman dan yang bawah simbol kebaikan atau dalam bahasa arab ihsan.
Tradisi inilah, oleh masyarakat Sukolilo terkenal dengan nama Meron. Tradisi yang sudah ada sejak awal abad 17, ketika zaman pemerintahan Kesultanan
Mataram, yang pada saat itu Desa Sukolilo dibawah kekuasaan Kadipaten Pati
Pesantenan, yang dipimpin Bupati Wasis Joyo Kusumo.
”Pada saat itu, Sukolilo ini memiliki seorang Demang yang
bernama Suro Kerto. Dia memiliki empat saudara laki-laki, yakni Suro Kadam, Suro Yudo, Suro
Dimejo dan Suro Noto. Karena semuanya laki-laki maka disebut Pandawa lima, dan
mereka ini keturunan Kerajaan Mataram,” ungkapnya.
Meron sendiri katanya, jika menurut bahasa kawi artinya gunung,
kemudian bahasa jawa kuno artinya merong, atau mengamuk. Karena terbentuknya
meron ini pada suasana peperangan ketika itu. Kemudian, dalam bahasa arab bisa
juga disebut mikroj, yang artinya memuncak, yakni hubungan antara manusia
dengan Allah.
Oleh masyarakat setempat, katanya tradisi meron tersebut selalu diperingati
bertepatan dengan bulan Maulud (Robiul Awal), sekaligus dengan memperingati
hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, yang dimeriahkan dengan berbagai kegiatan.
Ketua panitia kegiatan, Abdul Qodir menyatakan, jika meron yang
di diramaikan dengan kirab budaya ini merupakan puncaknya. Karena sebelumnya,
juga ada berbagai kegiatan yang dilaksanakan, baik oleh lembaga pemerintah desa
ataupun organisasi kepemudaan.
Untuk tahun 2015 ini, katanya, meron bakal dilaksanakan dua
kali. ”Untuk meron di tahun ini sangat istimewa, karena akan digelar selama dua
kali, yakni pada Januari dan akhir Desember nanti. Jadi ini sangat istimewa,
karena mungkin baru kali ini terjadi,” ungkapnya
0 Response to "Meron, Gambaran Tradisi Abad 17"
Posting Komentar