Di Pati dan Kudus, Lebaran Ketupat Biasa Disebut Hari Raya Kecil
Ketika lebaran Idul Fitri tiba, oleh sebagian masyarakat belum lengkap rasanya bila belum ada ketupat sebagai sajian kuliner. Namun, oleh sebagian masyarakat di pesisir utara Jawa, khususnya di Kabupaten Pati, Kudus dan Rembang, sajian ketupat justru masih tak lazim ditemukan ketika bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Pada lebaran ketupat ini sendiri, biasanya juga terdapat tradisi lomban atau pacu perahu. Tradisi ini merupakan rangkaian dari sedekah laut. Untuk sedekah laut, biasanya akan ada upacara adat tertentu, semisal melarungkan kepala kerbau ke laut.
Tradisi lebaran ketupat ini, memang notabene berasal dari wilayah pesisir utara Jawa, tempat awal penyebaran Islam. Secara esensial, tak ada yang membedakan antara lebaran ketupat dengan lebaran pada Hari Raya Idul Fitri. Keduanya memiliki makna yang sama.
Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. Menurutnya, kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, yang membangun kekuatan politik dan penyiaran agama Islam dengan dukungan Walisongo. Ketika menyebarkan Islam ke pedalaman, Walisongo melakukan pendekatan budaya agraris, tempat unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan. Di sinilah pentingnya akulturasi. Raden Mas Sahid, anggota Walisongo yang akrab dengan panggilan Sunan Kalijaga, lalu memperkenalkan dan memasukkan ketupat, simbol yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat.
Kemudian, untuk penggunaan istilah ketupat dalam Lebaran ketupat tentu bukan tanpa filosofi yang mendasarinya. Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari istilah bahasa Jawa yaitu “ngaku lepat” (Mengakui Kesalahan) dan laku papat (empat tindakan).
Prosesi ngaku lepat umumnya diimplementasikan dengan tradisi sungkeman, yaitu seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orangtuanya. Dengan begitu, kita diajak untuk memahami arti pentingnya menghormati orang tua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka serta senantiasa mengharap ridho dan bimbinganya.
Prosesi ngaku lepat pun tidak hanya berkutat pada tradisi sungkeman seorang anak kepada orangtua, lebih jauh lagi adalah memohon maaf kepada tetangga, kerabat dekat maupun jauh hingga masyarakat muslim lainya, dengan begitu umat Islam dituntun untuk mau mengakui kesalahan dan saling memaafkan dengan penuh keikhlasan yang disimbolkan dengan ketupat tersebut.
Sedangkan, untuk istilah laku papat (empat tindakan), masyarakat Jawa mengartikanya dengan empat istilah, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan.
Lebaran berarti akhir dan usai, yaitu menandakan telah berakhirnya waktu puasa Ramadan dan siap menyongsong hari kemenangan. Sedangkan Luberan bermakna meluber atau melimpah, layaknya air yang tumpah dan meluber dari bak air. Pesan moral yang dihendak disampaikan dari luberan adalah budaya mau berbagi dan mengeluarkan sebagian harta yang lebih (luber) kepada fakir miskin.
Kemudian Leburan berarti habis dan melebur. Yaitu momen untuk saling melebur dosa dengan saling memaafkan satu sama lain, dengan kata lain dosa kita dengan sesama dimulai dari nol kembali. Yang terakhir adalah Laburan yang berasal dari kata labur atau kapur. Kapur merupakan zat padat berwarna putih yang juga bisa menjernihkan zat cair, dari ini Laburan dipahami bahwa hati seorang muslim haruslah kembali jernih nan putih layaknya sebuah kapur. Karena itu merupakan simbol kejernihan dan kesucian hati yang sebenarnya.
Sumber : Diambil dari berbagai sumber (*)
0 Response to "Di Pati dan Kudus, Lebaran Ketupat Biasa Disebut Hari Raya Kecil"
Posting Komentar