Sejarah Cilacap yang Perlu Kamu Tahu

SEKITARPANTURA.COM, CILACAP - Pada masa kerajaan Hindu di pulau Jawa,  berdirilah Kerajaan Pajajaran atau yang dikenal juga dengan Kerajaan Pakuan Parahiyangan. Salah satu raja yang berkuasa adalah Sri Prabu Linggawesi Dewa Niskala. Namun, ia hanya memerintah selama 8 tahun dan sepeninggalnya,  digantikan putranya yang bernama Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana Jaya Dewata.

Raja yang berkuasa selama lebih 39 ahun ini dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana. Raja memiliki empat putra bernama Raden Harya Banyak Catra,  Raden Harya Banyak Blabur,  Raden Harya Banyak Ngampar dan Dewi Retna Pamekas.

Saat menjelang dewasa, Raden Harya Banyak Catra pergi mengembara.  Tujuannya,  di samping untuk menambah pengalaman dan kanuragan,  ia ingin mencari istri yang mirip dengan ibunya,  Dewi Kumudaningsih,  baik wajah maupun sikapnya yang penuh cinta kasih kepada suami maupun anak-anaknya.  Sebab,  ia sangat menghormati dan mencintai ibunya.

Setelah berbulan bulan mengembara,  ia menemukan gadis yang ia cari,  yaitu Dewi Ciptarasa, puteri Adipati Pasirluhur, Kanda Daha.

Sumber/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen


Karena cintanya pada Dewi Ciptarasa,  maka,  ketika tahta Kerajaan Pajajaran akan diserahkan kepadanya,  ia lebih memilih tinggal di Pasirluhur. Sebab,  Adipati Pasirluhur tidak memiliki anak laki-laki. Ia akhirnya menjadi Adipati Pasirluhur menggantikan Kanda Daha.

Sementara itu, tahta Pajajaran diserahkan kepada adiknya Raden Banyak Blabur. Kemudian adiknya Raden Banyak Ngampar diangkat menjadi Adipati Dayeuhluhur yang berbatasan dengan daerah Pasirluhur.
Keturunan Raden Harya Banyak Catra ini kemudian menjadi penguasa di Kadipaten Pasirluhur hingga keturunan keenam. Ia digantikan berturut-turut oleh Adipati Banyak Wirata,  Adipati Banyak Rama, Adipati Banyak Kesumba, Adipati Banyak Belanak dan Adipati Banyak Thole.

Baca juga : Asal-usul Nama Brebes

Saat Adipati Banyak Belanak berkuasa, masuklah pengaruh Islam dan berakhirnya kekuasaan Kerajaan Hindu.  Karena perannya besar dalam pengembanagaan Islam di daerah tersebut dan juga dalam pembangunan Masjid Demak, maka Banyak Belanak mendapatkan gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I dan adiknya Banyak Galeh mendapatkan gelar Pangeran Senopati Mangkubumi II atau yang dikenal dengan Patih Wiranakencana.
Sementara anak keempat Sri Prabu Linggawastu yang bernama Dewi Retna Pamekas menikah dengan Harya Baribin, seorang pangeran dari Majapahit. Ia adlah adalah adik Prabu Kertabumi Brawijaya V. Dari perkawinan ini, ia memiliki empat orang anak yaitu Raden Jaka Katuhu, Raden Banyak Sosro, Raden Banyak Kumara dan Raden Ayu Ngaisah.

Raden Jaka Katuhu ketika dewasa kemudian mengembara ke arah timur dan diangkat anak oleh Adipati Wirasaba I yang bernama Adipati Wirahudaya. Setelah itu, ia menggantikan kedudukan Adipati Wirahudaya sebagai Adipati Wirasaba II dengan gelar Adipati Anom Wirautama. Gelar ini diberikan oleh Prabu Kertabumi Brawijaya V.
Adipati Wirasaba II ini berhasil mengembangkan dan memperluas wilayahnya hingga lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Wirasaba menjadi kadipaten yang besar dan rakyatnya sejahtera dan aman. Adipati Wirasaba ini, kemudian secara turun temurun dijabat oleh keturunan Adipati Anom Wirautama hingga Adipati Wirasaba  keenam dijabat Raden Jaka Suwarga,   dengan gelar Adipati Wargautama I.

Konon dikisahkan, saat Adipati Wargautama I sedang memeriksa pasukan yang sedang berjaga pada suatu malam Jumat Kliwon,  ia mendapati semua penjaga sedang tertidur.  Namun ada yang terasa aneh.  Sebab di antara prajurit itu ada yang dari ubun-ubun kepalanya menyinarkan cahaya. Namun karena gelap,  ia tidak tahu nama prajurit itu. 


Karena itu,  ia menyobek pakain prajurit tersebut dan memanggilnya keesokan harinya.  Saat ditanya,  prajurit itu jujur menjelaskan jati dirinya, bahwa ia adalah Joko Kahiman, putera Raden Banyak Sosro dari Kadipaten Pasirluhur. Karena terkesan,  Joko Kahiman kemudian diangkat anak.  Ia kemudian dinikahkan dengan Rara Kartimah, puteri sulung Adipati Wargautama I. Rara Kartimah ini memiliki empat adik,  yaitu,  Wirayuda,  Wirakusuma,  Wargawijaya dan Rara Sukartijah yang dikenal sangat cantik.

Dikisahkan,  kecantikan Rara Sukartijah ini didengar oleh Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya yang ingin mengambilnya sebagai istri. Tentu pinangan itu disambut gembira oleh Adipati Wargautama I. Namun, rencana itu membuat Ki Agebg Tojareka tidak suka dan kemudian bahkan memunculkan dendam. Sebab, sejak kecil ia sudah menjodohkan putranya dengan Rara Sukartijah.  Ia kemudian menyebar fitnah,  bahwa sultan merebut istri anaknya.  Hal ini tentu membuat berang sultan terhadap Adipati Warautama I.Sebab, ia tidak mengatakan,  jika Rara Sukartijah sudah bersuami.  Peristiwa itu kemudian menimbulkan kesalahpamahan,  dan mengakibatkan Adipati Wargautama I terbunuh di Desa Bener. 

Sultan yang menyadari kesalahannya,  kemudian mengundang salah satu anak Adipati Wargutama I.Namun tidak ada yang berani datang,  karena takut menerima hukuman.  Akhirnya yang menghadap adalah menantunya,  yaitu Jaka Kahiman. Ternyata, untuk menebus kesalahannya, sultan menganugerahkan jabatan Adipati Wirasaba menggantikan kedudukan Adipati Wargautama I. Joko Kahiman tentu sangat senang. Namun ia mengusulkan untuk membagi 4 wilayah Kadipaten Wirasaba untuk anak-anak Adipati Wargautama I.

Wilayah Banjar Pertambakan untuk Wirayuda,  wilayah Marden untuk Wirakusuma, Wirasaba untuk Wargawijaya dan Joko Kahiman sendiri  mendapatkan wilayah Kejawar. Ia juga minta izin untuk membuka hutan Mangli sebagai pusat pemerintahan.

Semua usulan Jaka Kahiman disetujui Sultan Hadiwijaya,  dan ia sendiri mendapatkan gelar Adipati Wargautama II dan Adipati Wirasaba VII. Karena telah membagi wilayah Wirasaba menjadi empat wilayah, dia juga dikenal sebagai Adipati Mrapat atau Marapat.

Tak lama kemudian, ia menugaskan Raden Ronggosegoro untuk membuka alas Donan yang ketika itu masih hutan belantara. Hutan Donan ini,  di sebelah timur,  barat dan selatan berbatasan dengan laut serta terdapat sungai besar,  yaitu Sungai Donan dan Sungai Serayu.

Dengan cepat, proses pembukaan Alas Donan dapat diselesaikan,  yang akhirnya jadi tempat pemukiman yang besar.  Ketika itu, penduduknya hidup berkecukupan, karena hasil pertanian melimpah,  pun demikian dengan hasil perikanan dari laut.

Namun,  suasana yang aman dan nyaman di wilayah ini,  konon mulai terganggu dengan munculnya burung raksasa,  yang oleh masyarakat setempat disebut Garuda Beri. Burung yang tinggal di Nusakambangan ini,  konon memangsa hewan ternak penduduk,  bahkan pemilik ternak juga menjadi korban,  karena berupaya melindungi ternaknya.

Terkait hal ini,  Raden Ronggosegoro bersama penduduk berupaya melawan burung ganas tersebut,  tapi selalu gagal.  Dalam kondisi ini,  Raden Ronggosegoro kemudian melakuman semedi memohon kepada Sang Hyang Widhi.  Dapatlah petunjuk, jika yang dapat membunuh burung tersebut adalah pusaka dari Kasultanan Demak bernama Kyai Cis Tilam Upih.  Lalu,  pergilah ia ke Demak an menceriakan kepada sultan mengenai kondisi yang terjadi di Donan.  Sultan pun akhirnya bersedia meminjamkan pusaka tersebut.


Namun, setelah sampai di Donan,  ternyata tidak ada yang bisa menggunakan pusaka tersebut.  Hingga akhirnya Raden Rongggosegoro menggelar sayembara, bahwa siapa yang dapat membunuh Garuda Beri akan dijodohkan dengan putrinya.  Hal ini  menjadi perhatian para adipati. Namun demikian,  ternyata tak ada satupun yang berhasil membunuh burung tersebut.  Hingga akhirnya datanglah seorang pemuda bernama Santri Undig yang akhirnya bisa mengalahkan burung itu dengan menggunakan pusaka Kyai Cis Tilam,  yang dipinjam dari Ronggosegoro karena sejauh ini belum ada yang bisa menggunakannya.

Setelah itu,  Raden Ronngosegoro akhirnya menepati janjinya untuk mengawinkan anaknya dengan Santri Undig. Nanun demikian,  hal itu ditolak halus oleh Santri Undig, yang kemudian membuka jati dirinya yang sebenarnya adakah Sunan Kalijaga yang ditugaskan Sultan Demak untuk mengambil pusaka Kyai Cis Tilam.  Kemudian, putri Ronngosegoro dinikahkan dengan Adipati Bagong, seorang Adipati Limbangan.

Setelah itu, penduduk kembali bekerja dan mengembangkan Donan menjadi besar. Raden Ronggosegoro akhirnya diangkat oleh Adipati Wirasaba VII untuk menjadi pimpinan wilayah tersebut. Ia kemudian menjadi bupati pertama Cilacap.

Asal Nama Cilacap

Konon, nama Cilacap berasal dari lokasi Hutan Donan. Wilayah tersebut berada di ujung lekukan pantai yang bentuknya runcing seperti mata bajak. Oleh orang Banyumas disebutnya sebagai cacap atau tlacap, yang artinya sebagai sudut yang lancip atau ujung yang lancip. Lama kelamaan, tlacap tersebut menjadi Cilacap.

Cilacap juga dihubung-hubungkan dengan istilah atau bahasa Sunda yang memberikan makna bahwa Cilacap adalah samaa artinya dengan lahan berair yang disebut mencacap. Dari kata itu, lama kelamaan istilah mencacap menjadi Cilacap.

Ada pula yang mengganggap,  Cilacap berasal dari kata Ci yang artinya air atau sungai dan lacap yang berarti tanah yang menjorok ke laut. Dari kedua kata ini akhirnya menjadi Cilacap.

Sumber artikel diambil dari buku berjudul Legenda Mitos dan Sejarah 35 Kota di Jawa Tengah karangan Hadi Priyanto* **




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Cilacap yang Perlu Kamu Tahu"

Posting Komentar