Pati Ulang Tahun ke-693, Ini Sejarah Kabupaten Pati yang Perlu Kamu Tahu
SEKITARPANTURA.COM, PATI - Kabupaten Pati, tepat pada 6 Agustus 2016 ini memasuki usianya yang
ke-693. Hampir tujuh abad kabupaten ini berdiri, dan tentunya ini bukan usia
yang muda. Bahkan, jika dibandingkan
dengan kemerdekaan Indonesia masih terpaut sangat jauh.
Namun, apakah kalian sudah tahu bagaimana sejarah tentang
Kabupaten Pati? Memang ada beragam versi
mengenai nama Pati dan perjalanan kabupaten Pati. Meski begitu, dari beberapa
versi tersebut, bermuara pada beberapa
nama ataupun kejadian yang ada ketika itu.
Kali ini, Sekitarpantura.com akan mengulas kembali sejarah
mengenai Kabupaten Pati, seperti yang dituliskan Hadi Priyanto dalam bukunya
"Legenda, Mitos dan Sejarah 35 Kabupaten di Jawa Tengah".
Konon, di sebuah kadipaten di wilayah utara pulau Jawa, hiduplah
seorang putri cantik jelita bernama Dewi Ruyung Wulan. Ia adalah anak
Adipati Andungjoyo penguasa Kadipaten Carangsoko. Karena persahabatan
setelah dewasa, ia dijodohkan dengan
putra Adipati Yudhopati dari Kadipaten Paranggarudo, Raden Menak Jasari.
Menak Jasari ini merupakan pemuda yang buruk rupa dan
memiliki sifat yang kurang baik dan bahkan
dikenal sangat sombong serta selalu mengandalkan jabatan orang tuanya.Kedua
kadipaten ini bertetangga dan sejak lama rakyatnnya hidup rukun karena
persahabatan kedua adipati tersebut.
Kadipaten Carangsoko wilayah kekuasaannya sebelah utara Sungai Juwana sampai
pantai utara Jawa Tengah sebelah timur.
Sedangkan Kadipaten Paranggarudo, daerah kekuasaannya sebelah
selatan Sungai Juwana sampai Pegunungan
Gamping dan berbatasan dengan Grobogan.
Dewi Ruyung, sebenarnya sudah menolak pinangan tersebut.
Namun orang tuanya memaksa untuk menjaga
kerukunan dua kadipaten itu. Menurut Adipati Andungjoyo, kerukunan itu
sangat penting agar rakyat di kedua
kadipaten itu bisa hidup damai berdampingan.
Karena alasan itu, meski Adipati tahu jika Menak Jasari
memiliki tabiat yang kurang baik serta
buruk rupa, namun, dirinya tetap memaksan anaknya Dewi Ruyung Wulan untuk
menerima pinangan Adipati Yudhopati.
Dalam hal ini, kemudian Dewi Ruyung mau menerima pinangan
tersebut, namun dengan persyaratan,
yaitu, ketika pesta perkawinan nanti, Dewi Ruyung meminta diadakan
pagelaran wayang purwo atau wayang kulit
dnegan dalang Ki Soponyono bersama pesinden kembar Nyai Ambarwati dan Nyai Ambarsari.
Ketiganya merupakan adik Raden Sukmayana, Adipati Mojosemi
yang letaknya tidak jauh dari Kadipaten
Carangsoko dan Paranggarudo. Permintaan itu segera saja disanggupi. Adipati
Paranggarudo kemudian memerintahkan agul-agul Paranggarudo yaitu Yuyu Rumpung
untuk mencari Ki Dalang Soponyono. Akhirnya, Ki Dalang Soponyono yang baru saja selesai bertapa di
gunung bersama adiknya bertemua Yuyu Rumpung.
Vermoedelijk de regentswoning te Pati ( Kabupaten pati 1867 ) |
Sebelum pagelaran wayang dimulai, Dewi Ruyung Wulan berpesan
kepada Ki Dalang Soponyono agar mencari cerita pewayangan yang mirip dengan
cerita kisah sedihnya. Biar semua orang tahu
rintihan hati Dewi Ruyung Wulan.
Dalang Sapanyono kebingungan atas permintaan yang diajukan
oleh Dewi Ruyung Wulan, namun hal ini
hanyalah merupakan taktik dari Dewi untuk mengulur-ulur pernikahan. Dan agar
pernikahan ini dapat diggagalkan sebab
sebetulnya ia tidak mencintai Raden Menak Jasari calon suaminnya. Pernikahan
yang tidak dilandasi cinta akan menyakitkan dan dapat melemahkan semangat untuk hidup berumah tangga.
Dalang Saponyono menjalankan tugas sebisanya. Karena merasa
tertantang untuk membawakan cerita
wayang yang tidak sewajarnya, sebab lakon wayang yang biasa dibawakan dalam
acara pernikahan adalah wayang yang alur
ceritanya berakhir dengan kebahagiaan, namun kali ini Dalang Soponyono harus membawakan wayang
dengan cerita yang berakhir sedih.
Hal ini menurutnya, pasti mendapat protes sama penonton.
Namun Bagaimanapun juga Dalang Soponyono harus mementaskan, sebab Dewi Ruyung
Wulan tidak mau duduk di singgasana pengantin
kalau permintaannya tidak dituruti.
Akhirnya Dalang Soponyono menuruti permintaan Dewi Ruyung
Wulan, Ia ditemani oleh dua orang adiknya
yang cantik-cantik bernama Ambarsari dan Ambarwati yang bertindak sebagai
waranggano Swaraswati.
Tangisan haru dan jeritan serta duka mendalam yang
disampaikan Dewi Ruyung Wulan, benar-benar mewarnai pentas wayang malam itu. Ki
Dalang Soponyono benar-benar hanyut dalam duka
Dewi Ruyung hingga membuat pengunjung hatinya bergetar sedih.
Sementara itu, Raden Menak Jasari justru hatinya
berbunga-bunga, karena dapat bersanding dengan
Dewi Ruyung Wulan di pelaminan. Air liur Raden Menak Jasari selalu menentes
bila melihat kecantikan Dewi Ruyung.
Tangannya mulai nakal mencolak-colek pipi Dewi Ruyung Wulan.
Sehingga membuatnya tidak nyaman. Tengah
asyik-asyiknya pagelaran berlangsung, terjadilah keributan yang
ditimbulkan Dewi Rayung Wulan. Ia lari
dari pelaminan dan menjatuhkan diri di atas pangkauan Dalang Soponyono.
Dewi Ruyung Wulan telah hanyut dalam cerita Pewayangan, ia
terpesona dan jatuh cinta kepada Dalang
Soponyono yang wajahnya lebih tampan dan pandai memainkan cerita wayang
daripada Raden Menak Jasari yang selalu
mengumbar nafsu birahinya.Dewi Ruyung Wulan kemudian berkata kepada Dalang Soponyono
untuk membawa dirinya lari dari tempat
tersebut.
Melihat hal ini, tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir
terutama orang tua kedua mempelai. Ki
Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu
yang berada di Kadipaten Carangsoko.
Keadaan yang gelap gulita itu, membuat panik yang hadir dalam
perjamuan tersebut, kesempatan ini
dimanfaatkan Ki Soponyono melarikan diri diikuti oleh kedua adiknya dan Dewi
Ruyung Wulan.
Adipati Paranggarudo malu dengan hal ini dan kemudian
patihnya Singopadti untuk segera mepersiapkan
prajurit, mengejar Dalang Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.
Prajurit menyebar ke seluruh desa, memasuki rumah-rumah
dengan tidak sopan santun dan kasar. Rakyat Carangsoko menjadi ketakutan,
mereka berlari berhamburan menyelamatkan diri. Prajurit menggeledah semua rumah penduduk barangkali
mereka bersembunyi di dalam rumah penduduk dan
barang siapa berani melindungnya akan dihukum.
Hal ini membuat Adipati Puspo Handung Joyo kurang senang,
yang dicari burunan Dalang Soponyono
tetapi rumah rakyat yang dirusak. Adipati Paranggarudo tidak mau peduli,
yang penting adalah Soponyono harus
ketangkap mati atau hidup. Karena telah menghina kewibawaan Adipati Paranggarudo.
Ki Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan yang disertai adik-adiknya
berlari terus menuju hutan, mereka
berjalan mengikuti alur sungai. Ki Soponyono juga mengadakan perlawanan kepada
para pengejar walaupun sia-sia, karena
tidak seimbang jumlah pengejar dan yang dikejar. Keluar hutan masuk hutan, Dewi Ruyung Wulan
menanggalkan pakaian kebesaran, kemudian dia menukarkan dengan baju penduduk setempat, mereka
menyamar menjadi penduduk desa, agar tidak menjadi perhatian penduduk.
Sampailah mereka di
Dukuh Bantengan (Trangkil) wilayah Panewon Majasemi. Panasnya Terik Matahari di siang hari membuat keempat orang
tersebut kehausan. Musim kemarau yang panjang
membuat mata air kering sehingga amat berharganya air.
Mereka terus berjalan untuk mendapatkan seteguk air. Mereka
duduk di bawah pohon besar yang kering,
setelah berlari tanpa berhenti merupakan siksaan terlebih bagi ketiga orang
putri terutama Dewi Ruyung Wulan yang tidak pernah bekerja berat
dan berjalan jauh. Rasa haus bagi ketiga
putri tersebut sudah tak terhankan lagi, untuk meneruskan perjalanannya sudah
tidak mungkinkan lagi.
Karena hausnya mereka berlari mengejar daratan yang penuh
dengan sumber air setelah didekati ternyata hanya sebuah fatamorgana. Mereka
berjalan tertatih-tatih, sampailah mereka disebuah sawah yang sunyi tidak ada
sumurnya, dan sungai disekitarnya sudah kering karena kemarau panjang itu. Melihat hal itu Ki Soponyono
sangat bingung hatinya karena akan meminta air
pada penduduk tidak berani, takut bertemu pengejarnya. Maka jalan
satu-satunya adalah mencuri semangka
atau mentimun yang ada di sawah tersebut.
Mereka tidak menyadari
bahwa semua bergerak-geraknya diawasi dari jauh oleh pemilik sawah yaitu adik dari Panewu Sukmoyono yang bernama
Raden Kembangjoyo. Berdasarkan laporan penduduk
bahwa sawahnya sering dirusak oleh binatang-binatang seperti kerbau, kancil.
Namun kali ini Kembangjoyo kaget
ternyata yang selama ini yang merusak tanamannya bukan binatang tapi manusia. Kembangjoyo memerintahkan anak
buahnya untuk mengepung sawah tersebut.
Kemudian, terjadilah perang antara Ki Soponyono dengan anak
buahnya Kembang Joyo, mereka semua dapat dilumpuhkan oleh Soponyono. Akhirnya
Kembang Joyo turun tangan mereka berdua bertarung
di tengah sawah.
Kantor Kabupaten Pati sekarang 2016 (sekitarpantura.com) |
Dari kejauhan tiga putri itu bersembunyi menyaksikan
pertarungan tersebut, karena dianggap pasukan
Paranggarudo. Namun tanpa daya Ki Soponyono melawan Kembangjoyo, karena Kembang
Joyo lebih sakti dari Ki Soponyono.Ki Soponyono ditelikung kakinya, kemudian
tangannya diikat dengan tali dadung.
Setelah itu keluarlah Dewi Ruyung Wulan beserta kedua adik
Dalang Soponyono, dan meminta untuk
melepaskan Dalang Soponyono. Dewi Ruyung Wulang mengatakan jika dirinya
boleh ditangkap dan dibawa, asal
Soponyono dilepaskan. Sebab, Dewi Ruyung mengira jika yang menangkap Soponyono itu adalah pasukan dari
Paranggarudo.
Melihat hal ini, Kembang Joyo menjadi heran, ternyata maling
yang ditangkapnya membawa tiga orang
gadis yang cantik-cantik. Namun karena Kembang Joyo hanya ditugaskan untuk
menjaga sawah milik kakaknya, makanya ia
tetap merangket keempat orang tersebut.
Mereka berempat kemudian menjadi tawanan Kembang Joyo,
kemudian mereka dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk diminta
penjelasannnya. Ki Soponyono memerkenalkan satu persatu kawan-kawannya.
Selanjutnya ia menceritakan semua kejadian-kejadian yang telah dialami, mengapa mereka sampai di dikejar-kejar
pasukan Parang Garudo dan sampai mereka terpaksa mencuri semangka dan mentimun milik Raden
KembangJoyo. Mendengar penuturan Ki Soponyono
tersebut, Penewu Sukmayono merasa kasihan dan tidak sampai hati untuk
menjatuhi hukuman. Penewu Sukmayono bersedia menampung dan melindungi mereka.
Sebagai rasa terima kasih atas segala kebaikan Sukmoyono, Ki
Saponyono mempersembahkan kedua adiknya kepada Sang Penewu untuk dijadikan
hambanya. Persembahan tersebut diterima dengan
senang hati. Akhirnya Ambarsari diperistri oleh Penewu sebagai selir,
sedangkan Ambarwati diberikan kepada Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya.
Sedangkan Dewi Ruyung Wulan akan dikembalikan
kepada bapaknya Adipati CarangSoko, Puspo Handung Joyo.
Sementara itu, para prajurit Paranggarudo masih saja
melakukan pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Sampailah
mereka tiba di Majasemi. Betapa marahnya Adipati Yudhopati ketika mendapat
laporan bahwa buronan Dalang Soponyono, Dewi Ruyung Wulan bersama kedua adik
Soponyono berada di Majasemi. Mereka dilindungi oleh Panewu Sukmoyono.
Maka terjadilah
pertempuran yang sangat dahsyat. Banyak korban berjatuhan, termasuk
Ki Panewu Sukmoyono. Ia gugur dalam
pertempuran itu. Mendengar kakaknya gugur, Raden Kembangjoyo mengamuk dengan memegang keris
Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro. Ia menghancurkan
pasukan Paranggarudo.
Melihat pasukannya dikalahkan, Adipati Yudhopati turun ke
gelanggang. Terjadi pertempuran dahsyat
antara Raden Kembangjoyo dan Adipati Yudhopati. Setelah bertempur cukup
lama, akhirnya Adipati Yudhapati
berhasil dikalahkan.
Setelah peperangan usai, Raden Kembangjoyo bersama Ki Dalang
Soponyono mengantarkan Dewi Ruyung Wulan pulang ke Kadipaten Carangsoko.
Sebagai ucapan terima kasih, Adipati Andungjoyo
menyerahkan Dewi Ruyung Wulan kepada Raden Kembangjoyo untuk dijadikan
istrinya.
Ia kemudian menetap di Carangsoko dan kemudian menggantikan
Puspo Andungjoyo sebagai pemimpin
Kadipaten. Ia juga diangkat menjadi Adipati setelah menggabungkan tiga
kadipaten yaitu Paranggarudo, Carangsoko
dan Majasemi menjadi satu.
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga
kadipaten, yang bertekad untuk memperluas
daerah kekuasaannya. Karena itu, mereka mencari lokasi yang baik sebagai
pusat pemerintahan. Mereka akhirnya
menuju hutan Kemiri dan setelah cocok, segeralah hutan tersebut dibabat untuk pusat pemerintahan.
Namun, sebelum melakukan penebangan hutan, mereka diganggu
siluman penunggu hutan tersebut. Untuk menangkal gangguan makhluk halus
tersebut, kemudian Ki Soponyono selamatan dengan memainkan wayang di hutan Kemiri. Setelah
pagelaran wayang usai, raja siluman beserta anak buahnya lari dari hutan Kemiri.
Esok harinya Kembang Joyo dan Dalang Soponyono beserta
parajurit Carangsoko melanjutkan pekerjaannya
membuka Hutan Kemiri menjadi perkampungan, di tengah mereka sedang membuka hutan datanglah seorang laki-laki memikul
gentong yang berisi air.
Setelah didekati, ternyata Ki Sagola seorang penjual dawet
keliling. Karena haus, mereka membeli
dawet tersebut. Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan minuman Dawet yang
manis dan segar, maka ia bertanya pada
Ki Sagola tentang minuman yang baru diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa minuman ini terbuat dari
Pati Aren yang diberi Santan kelapa, gula
aren/kelapa.
Mendengar jawaban itu Raden Kembang Joyo terispirasi, kelak
kalau pembukaan hutan ini selesai akan
diberi nama Kadipaten Pesantenan. Setelah pembukaan hutan selesai, maka dilakukanlah boyongan untuk memindahkan pusat
pemerintahan dari Carangsoko ke Desa Kemiri dengan memberi nama Kadipaten
Pesantenaan. Ia kemudian menggunakan gelar Adipati Joyokusumo di Pesantenan.
Dalam perkembangannya Kadipaten Pati-Pesantenan menjadi makmur gemah ripah loh jinawi dibawah kepemimpinan Kembang Joyo.
Setelah Adipati Joyokusumo wafat, maka digantikan putra
tunggalnya yaitu Raden Tambra yang telah
dipersiapkan lama untuk menggantikannya. Raden Tambra juga mewarisi dua pusaka
yaitu Rambut Pinutung dan Kuluk
Kanigoro.
Setelah diangkat menjadi Adipati Pesantenan, ia mendapatkan
gelar Adipati Tambranegara. Dalam
menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara dikenal oleh rakyat
Pesantenan sebagai seorang pemimpin yang
arif dan bijaksana. Ia sangat memperhatikan nasib rakyat kecil serta berusaha untuk mensejahterakannya.
Karena itu kehidupan rakyat di Pesantenan dapat
berjalan dengan penuh kerukunan, kedamaian , ketenangan serta sejahtera.
Kadipaten Pesantenan menjadi semajin besar dan orang yang
bermukin di sana terusa bertambah. Karena itu, Raden Tambranegara kemudian
memindahkan pusat pemerintahan dari Kemiri ke Kaborongan. Ia juga kemudian
mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kabupaten Pati.
Konon pemindahan pusat pemerintahan dari Kemiri ke Kaborongan
dan penggantian nama dari Kadipaten
Pesantenan menjadi Kabupaten Pati dilakukan sebelum Raden Tambranegara
menghadiri Pisowanan Agung di Keraton Majapahit di Majalengka tanggal 13
Desember 1323. Karena itu, diperkirakan perstiwa itu terjadi pada tanggal 7
Agustus 1323 dengan surya sengkala Kridane Panembahan Gebyaring Bumi.
Dalam Pisowanan Agung itu, Raja Majapahit Raden Jayanegara
mengakui wilayah Kadipaten di pantai
utara Jawa Tengah bagian timur itu termasuk wilayah kekuasaan Raden
Tambranegara sebagai tanah perdikan. Namun,
setiap tahun ia harus memberikan upeti kepada Majapahit.
Demikian sekilas tentang sejarah terbentuknya Kabupaten Pati.
Semoga dapat menambah referensi
pengetahuan Anda. Selamat Hari Jadi Kabupaten Pati.
0 Response to "Pati Ulang Tahun ke-693, Ini Sejarah Kabupaten Pati yang Perlu Kamu Tahu"
Posting Komentar